FENOMENA tabib cilik Ponari di Jombang, Jawa Timur, mengajak kita—kalau mau—merenung lebih jauh. Sesuai pernyataan WHO, fenomena Ponari membuktikan sebenarnya jalur pelayanan kesehatan di dunia, termasuk Indonesia, bukan terbatas hanya jalur tunggal yang dimonopoli sistem pelayanan kesehatan tradisional kebudayaan Barat belaka.
Bagi yang khawatir anggapan pelayanan kesehatan multijalur tidak modern, bahkan ketinggalan zaman,perlu menyadari bahwa forum ilmu pelayanan kesehatan di Jerman—sebagai salah satu negara termodern di dunia— tegas menyatakan bahwa di antara langit dan bumi tersedia aneka ragam jenis pelayanan kesehatan yang tidak semuanya perlu dibuktikan secara ilmiah.
Apalagi ”ilmiah” itu terbatas kaidah akademis kebudayaan Barat. Dan masih menurut WHO, de facto pelayanan kesehatan bukan sekadar suatu bentuk ilmu, melainkan bagian dari peradaban dan kebudayaan.
Maka,Depkes Jerman tidak malu membuka jalur resmi bagi pengobatan-pengobatan yang dianggap tidak ilmiah karena tidak bisa dibuktikan secara ilmiah,seperti ramuan obat-obatan tradisional, ginseng, akupunktur, terapipiramidal, terapi-magnetis, homeopathi, sampai pengobatan spiritual, seperti yang dipraktikkan bocah Jombang bernama Ponari itu.
Yang utama dikendalikan adalah jangan sampai ada praktik pelayanan kesehatan bentuk apa pun yang membahayakan bagi pasien.
Mengagumkan, bagaimana sebagian kaum intelektual Indonesia masa kini justru memiliki arogansi akademis kebudayaan Barat lebih hebat ketimbang Jerman dengan sama sekali tidak sudi mengakui,bahkan mencemooh,jalur pelayanan kesehatan non-Barat sebagai takhayul, klenik, tidak masuk akal-sehat, bahkan penipuan!
Beda dengan China dan India, politik pelayanan kesehatan di Indonesia enggan menghargai, apalagi mengakui, karsa dan karya peradaban dan kebudayaan pengobatan tradisi bangsa sendiri! Nama ”jamu” yang merupakan warisan kebudayaan Nusantara sempat akan diganti menjadi ”herbal”, konon agar sekadar terkesan lebih modern dan keren! Benak sebagian ilmuwan kesehatan Indonesia sudah begitu dikuasai,bahkan dijajah,imperialisme kebudayaan Barat.
Hingga tanpa disadari gigih melakukan pembinasaan kebudayaan bangsa sendiri! Tidak heran apabila praktik pelayanan kesehatan Ponari yang berakar di bumi kebudayaan Nusantara sendiri itu dituduh sebagai klenik, takhayul,bahkan penipuan yang mematikan logika!
Di sisi lain, fenomena Ponari membuktikan jaringan pelayanan kesehatan nasional belum optimal menjangkau seluruh anggota masyarakat. Ribuan rakyat dari berbagai pelosok Nusantara (termasuk dari kedutaan negara sahabat) berduyun-duyun ke Jombang untuk antre memperoleh penyembuhan Ponari, sampai bocah cilik tidak berdosa itu kelelahan
Bahkan setelah Ponari menghentikan pelayanan pun massa menuntut agar praktik pengobatan tabib cilik itu kembali dibuka agar perjalanan mereka dari jauh ke Jombang tidak sia-sia. Tampaknya pemerintah masih perlu mengintensifkan dan memperluas jaringan pelayanan kesehatan bagi rakyat. Bukan hanya melalui jalur tradisional Barat, namun justru juga jalur tradisional kebudayaan bangsa Indonesia sendiri.
Jika Jerman, yang bukan negara terbelakang, itu tidak malu membuka multijalur pelayanan kesehatan, kenapa Pemerintah Indonesia harus malu mengakui karsa dan karya kebudayaan pelayanan kesehatan bangsa Indonesia sendiri di samping tetap mengembangkan pelayanan kesehatan sistem akademis Barat yang memang memiliki kelebihan potensi tersendiri itu! Politik pelayanan kesehatan Indonesia seyogianya jangan ingkar falsafah Bhinneka Tunggal Ika.
Dengan resmi mengakui kebhinneka-tunggal-ikaan kebudayaan kesehatan nasional, pemerintah justru mampu memegang kendali mekanisme gerak pelayanan kesehatan nasional secara lengkap, hingga tidak perlu terjadi ledakan histeria massa lepas kendali di Jombang itu! Tetapi yang utama diperhatikan dan dilaksanakan adalah perlindungan atas hak-hak Ponari sebagai anak Indonesia seutuhnya.
Jangan sampai akibat masyarakat membutuhkan,bahkan menuntut, kemampuan khusus sang tabib cilik ini lalu Ponari habis-habisan dieksploitasi, dimanfaatkan, bahkan dikorbankan untuk kehilangan hak-haknya sebagai anak. Sebagai anak Indonesia, Ponari jangan sampai kehilangan hak atas pendidikan, kesehatan, dan bermain! (*)
JAYA SUPRANA
Bagi yang khawatir anggapan pelayanan kesehatan multijalur tidak modern, bahkan ketinggalan zaman,perlu menyadari bahwa forum ilmu pelayanan kesehatan di Jerman—sebagai salah satu negara termodern di dunia— tegas menyatakan bahwa di antara langit dan bumi tersedia aneka ragam jenis pelayanan kesehatan yang tidak semuanya perlu dibuktikan secara ilmiah.
Apalagi ”ilmiah” itu terbatas kaidah akademis kebudayaan Barat. Dan masih menurut WHO, de facto pelayanan kesehatan bukan sekadar suatu bentuk ilmu, melainkan bagian dari peradaban dan kebudayaan.
Maka,Depkes Jerman tidak malu membuka jalur resmi bagi pengobatan-pengobatan yang dianggap tidak ilmiah karena tidak bisa dibuktikan secara ilmiah,seperti ramuan obat-obatan tradisional, ginseng, akupunktur, terapipiramidal, terapi-magnetis, homeopathi, sampai pengobatan spiritual, seperti yang dipraktikkan bocah Jombang bernama Ponari itu.
Yang utama dikendalikan adalah jangan sampai ada praktik pelayanan kesehatan bentuk apa pun yang membahayakan bagi pasien.
Mengagumkan, bagaimana sebagian kaum intelektual Indonesia masa kini justru memiliki arogansi akademis kebudayaan Barat lebih hebat ketimbang Jerman dengan sama sekali tidak sudi mengakui,bahkan mencemooh,jalur pelayanan kesehatan non-Barat sebagai takhayul, klenik, tidak masuk akal-sehat, bahkan penipuan!
Beda dengan China dan India, politik pelayanan kesehatan di Indonesia enggan menghargai, apalagi mengakui, karsa dan karya peradaban dan kebudayaan pengobatan tradisi bangsa sendiri! Nama ”jamu” yang merupakan warisan kebudayaan Nusantara sempat akan diganti menjadi ”herbal”, konon agar sekadar terkesan lebih modern dan keren! Benak sebagian ilmuwan kesehatan Indonesia sudah begitu dikuasai,bahkan dijajah,imperialisme kebudayaan Barat.
Hingga tanpa disadari gigih melakukan pembinasaan kebudayaan bangsa sendiri! Tidak heran apabila praktik pelayanan kesehatan Ponari yang berakar di bumi kebudayaan Nusantara sendiri itu dituduh sebagai klenik, takhayul,bahkan penipuan yang mematikan logika!
Di sisi lain, fenomena Ponari membuktikan jaringan pelayanan kesehatan nasional belum optimal menjangkau seluruh anggota masyarakat. Ribuan rakyat dari berbagai pelosok Nusantara (termasuk dari kedutaan negara sahabat) berduyun-duyun ke Jombang untuk antre memperoleh penyembuhan Ponari, sampai bocah cilik tidak berdosa itu kelelahan
Bahkan setelah Ponari menghentikan pelayanan pun massa menuntut agar praktik pengobatan tabib cilik itu kembali dibuka agar perjalanan mereka dari jauh ke Jombang tidak sia-sia. Tampaknya pemerintah masih perlu mengintensifkan dan memperluas jaringan pelayanan kesehatan bagi rakyat. Bukan hanya melalui jalur tradisional Barat, namun justru juga jalur tradisional kebudayaan bangsa Indonesia sendiri.
Jika Jerman, yang bukan negara terbelakang, itu tidak malu membuka multijalur pelayanan kesehatan, kenapa Pemerintah Indonesia harus malu mengakui karsa dan karya kebudayaan pelayanan kesehatan bangsa Indonesia sendiri di samping tetap mengembangkan pelayanan kesehatan sistem akademis Barat yang memang memiliki kelebihan potensi tersendiri itu! Politik pelayanan kesehatan Indonesia seyogianya jangan ingkar falsafah Bhinneka Tunggal Ika.
Dengan resmi mengakui kebhinneka-tunggal-ikaan kebudayaan kesehatan nasional, pemerintah justru mampu memegang kendali mekanisme gerak pelayanan kesehatan nasional secara lengkap, hingga tidak perlu terjadi ledakan histeria massa lepas kendali di Jombang itu! Tetapi yang utama diperhatikan dan dilaksanakan adalah perlindungan atas hak-hak Ponari sebagai anak Indonesia seutuhnya.
Jangan sampai akibat masyarakat membutuhkan,bahkan menuntut, kemampuan khusus sang tabib cilik ini lalu Ponari habis-habisan dieksploitasi, dimanfaatkan, bahkan dikorbankan untuk kehilangan hak-haknya sebagai anak. Sebagai anak Indonesia, Ponari jangan sampai kehilangan hak atas pendidikan, kesehatan, dan bermain! (*)
JAYA SUPRANA
0 comments:
Post a Comment